Jumat, 25 Oktober 2019

Faktor-Faktor Kenakalan Remaja



Mengapa seorang anak melakukan tindakan kriminal?

Dalam menjawab mengapa seorang Anak melakukan tindak kriminal, maka yang didapatkan bukanlah faktor tunggal melainkan berberapa faktor yang secara bersama-sama menjadi sebab terjadinya kriminalitas Anak, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dalam konteks internal, yang mempengaruhi tindak kriminalitas anak adalah kepribadian, konsep diri, penyesuaian sosial, tugas perkembangan dan kemampuan penyelesaian masalah yang rendah. Sedangkan faktor eksternal adalah bagaimana lingkungan keluarga seperti pola asuh, lingkungan sekolah dan lingkungan teman sebaya berpengaruh terhadap anak.

Faktor Internal

Ketika membahas masalah kenakalan atau tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak, hal yang ingin diketahui adalah apa yang melatarbelakangi atau faktor yang menyebabkan anak melakukan tindakan kriminal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kenakalan oleh anak, merupakan aspek kepribadian yang berasal dari dalam diri anak seperti konsep diri yang rendah (Yulianto, 2009), penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap yang berlebihan serta pengendalian diri yang rendah. Konsep diri adalah bagaimana individu memandang dirinya sendiri meliputi aspek fisik dan aspek psikologis. Aspek fisik adalah bagaimana individu memandang kondisi tubuh dan penampilannya sendiri. Sedangkan aspek psikologi adalah bagaimana individu tersebut memandang kemampuan-kemampuan dirinya, harga diri serta rasa percaya diri dari individu tersebut.

Faktor internal berupa ketidakmampuan remaja dalam melakukan penyesuaian sosial atau beradaptasi terhadap nilao dan norma yang ada di dalam masyarakat. Bukti ketidakmampuan anak/remaja dalam melakukan penyesuaian sosial adalah maraknya perilaku kriminal oleh remaja yang tergabung dalam geng motor, membolos serta aksi mereka yang selalu berhubungan dengan tindakan kriminal seperti memalak anak-anak sekolah lain, memaksa remaja lain untuk ikut bergabung dengan geng mereka serta ada beberapa anggota yang pernah melakukan tindakan kriminal pencurian motor. Hal tersebut menunjukkan ketidakmampuan remaja-remaja tersebut dalam berperilaku adaptif, mereka memiliki kemampuan penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap.

Selain hal itu, remaja berada dalam tahapan perkembangan yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dengan tugas perkembangan untuk pencarian jati diri, tentang seperti apa dan akan menjadi apa mereka nantinya (Ericson dalam Sandrock, 2003). Dalam kondisi ini maka anak-anak ini berada dalam tahap perkembangan identity vs identity confusion menurut klasifikasi Ericson (dalam Hurlock, 1998). Bila berhasil maka anak akan mencapai tahap perkembangan dipenuhinya rasa identitas diri yang jelas, dan sebaliknya anak akan mengalami kebingungan identitas bila gagal dalam melewati tahap perkembangan ini.

Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang besar pengaruhnya terhadap anak dengan kriminalitas adalah keluarga dalam hal ini kondisi lingkungan keluarga. Kondisi lingkungan keluarga pada masa perkembangan anak dan remaja telah lama dianggap memiliki hubungan dengan munculnya perilaku antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh remaja. Beberapa penelitian mengenai perkembangan kenakalan dan kriminalitas pada remaja, ditemukan bahwa tindak kriminal disebabkan adanya pengalaman pada pengasuhan yang buruk. Ketiga pola asuh orang tua terhadap anak yaitu pola asuh autoritarian, permissive dan univolved ini menyebabkan seorang anak berperilaku anti sosial.
Pada pola asuh otoritarian, orang tua menerapkan disiplin yang sangat kaku dan terkadang penuh dengan kekerasan, tidak jarang anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, menyia-nyiakan dan ada kekerasan di dalam keluarga saat anak dalam masa perkembangan awal anak-anak, maka anak akan memiliki harga diri yang rendah. Tidak hanya itu, anak juga akan mengembangkan perilaku kekerasan tersebut pada saudaranya dan juga mengembangkan perilaku antisosial. A Budi (2009) menemukan bahwa pola asuh authoritarian orangtua mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan agresivitas pada anak binaan lembaga pemasyarakatan anak Kutoarja Jawa Tengah. Pola asuh otoriter yang diberikan oleh orang tua atau sikap negatif yang ditunjukkan oleh orang tua berupa kedisiplinan yang keras, kemarahan dan kekerasan yang ditunjukkan orang tua dalam pengasuhan dengan perilaku antisosial remaja.

Pola asuh yang dikategorikan sebagai pola asuh permisif indulgen, atau pola asuh neglected parenting atau ada juga yang menerapkan pola asuh otoritarian itu tidak ada pengembangan internalisasi nilai-nilai moral sebagai dasar terbentuknya pertimbangan moral dan hati nurani. Sehingga menurut Evans, Nelson, Porter dan Nelson (2012), dapat mempengaruhi munculnya perilaku antisosial pada anak. Penelitian Torrente dan Vazsonyi (2008) juga menunjukkan bahwa pengasuhan yang diberikan oleh ibu memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap munculnya perilaku kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh anak. Ketika ibu tidak memberikan pengasuhan yang tepat, tidak memberikan perhatian yang cukup pada anak tentang kegiatan di sekolah atau kegiatan dengan temannya dapat memicu terbentuknya perilaku kenakalan dan tindak kriminal pada anak.

Ketika anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, disia-siakan dan ada kekerasan di dalam keluarga saat anak dalam masa perkembangan awal anak-anak, maka anak akan memiliki harga diri yang rendah, juga akan mengembangkan perilaku kekerasan tersebut pada saudaranya dan juga mengembangkan perilaku antisosial. Kemudian pada saat anak-anak mulai masuk di lingkungan sekolah, anak dengan harga diri yang rendah akan mendapatkan isolasi dari kelompok sebayanya dan mengalami kesulitan dalam sekolah, membolos, serta mengalami kegagalan dalam kegiatan akademik di sekolah. Anak-anak tersebut kemudian berkembang menjadi remaja yang memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dalam geng, dan kelompok sebaya yang menyimpang, serta pengarahan diri dalam kekerasan, karena menganggap teman sebaya seperti itulah yang dapat menerima kondisi mereka.
Saat mereka beranjak dewasa, mereka akan meneruskan perilaku kekerasan, penerimaan dan kekerasan dalam hubungan pribadi, dan berkelanjutan dalam siklus kekerasan ketika mereka menikah dan menerapkan pola asuh yang mengandung unsur kekerasan pada anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya akan berkembang menjadi individu yang melakukan kenakalan dan tindakan kriminal. Hal tersebut serupa dengan penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku agresi atau kekerasan memiliki kontribusi secara genetik atau diturunkan oleh orangtua pada anaknya terutama dalam perilaku antisosial. Pola hubungan di dalam keluarga antara orangtua dan anak yang buruk juga bersifat genetik atau diturunkan. Mekanisme perkembangan perilaku antisosial di atas berbentuk siklus, sehingga tindakan kekerasan atau pengasuhan yang tidak tepat oleh orang tua akan membentuk rantai siklus perkembangan yang menyebabkan anak melakukan perilaku kekerasan atau bahkan tindakan kriminal.

KRISIS MORAL REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?


Bukan suatu hal yang asing lagi saat ini banyak anak muda yang mengalami krisis moral. Data Unicef tahun 2016 lalu menunjukkan bahwa kekerasan kepada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen.

Tak berhenti di situ, kekerasan remaja pada orang tua dan guru juga tampak ramai akhir-akhir ini. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, seorang murid berani menantang, bahkan memukul gurunya.

Selain kekerasan, perilaku menyimpang dari pemuda saat ini juga mengarah ke dalam seks bebas. Menurut Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, tingkat kenakalan remaja yang hamil dan melakukan upaya aborsi mencapai 58 persen. Tak hanya itu, berbagai penyimpangan remaja, seperti narkoba, miras, dan berbagai hal lainnya juga memperburuk moral generasi muda kita.

Menyikapi berbagai potret buram perilaku-perilaku menyimpang para remaja tersebut, tebersit pertanyaaan "Siapa yang harus bertanggung jawab?" Ini harus menjadi fokus semua pihak. Baik itu orang tua, guru, maupun negara. Karena mereka yang berperan dalam proses pendidikan remaja.

Orang tua berkewajiban memberikan pengajaran tentang kepribadian sejak dini. Menanamkan nilai-nilai agama adalah yang utama bagi mereka, sehingga mereka dapat tumbuh berkembang dengan kepribadian yang baik. Guru atau pihak sekolah juga berkewajiban memberikan pengajaran karakter kepada remaja. Seorang guru juga harus memberikan keteladanan yang baik untuk siswa-siswi remajanya.

Selain dua pihak tersebut, negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang berbasis agama. Tidak memisahkan agama dari pendidikan, mendukung para remaja dalam pengembangan bakat atau kemampuan. Serta mendorong mereka dalam mengkaji Islam.

Seperangkat dengan negara, aturan dan hukum yang berlaku harus mampu memberikan pencegahan dan sanksi bagi remaja yang menyimpang jauh dari asusila, seperti seks bebas, aborsi, narkoba dan lainnya.

Dampak Buruk Rokok

Kandungan zat kimia yang terdapat dalam rokok sangat berbahaya bagi kesehatan Anda dan juga orang-orang di sekitar Anda. Bahaya mero...